24 March 2004

Waktu sedang dalam penantian menunggu waktu berakhirnya jam three in one....iseng aku bongkar-bongkar folder milis pasarbuku dan menemukan email sebagaimana di bawah ini. Masih tentang seorang anak yang menulis surat kepada Presiden.

-----Original Message-----
From: Helvy Tiana Rosa [mailto:helvytr@cbn.net.id]
Sent: Wednesday, January 28, 2004 12:44 AM
To: Forum_LingkarPena@yahoogroups.com; pasarbuku@yahoogroups.com; profetik@yahoogroups.com; alumnus_formasi@yahoogroups.com
Cc: qahwaji@yahoogroups.com; bukandongeng@yahoogroups.com; pelanginurani@yahoogroups.com
Subject: [PasarBuku] Catatan Kecil dari Orangtua Biasa

ANANDA FAIZ TERCINTA; CATATAN KECIL DARI ORANGTUA BIASA
(Disampaikan pada peluncuran buku kumpulan puisi Untuk Bunda dan Dunia, karya Abdurahman Faiz, 27 januari 2004)

Belum lama ini, melalui sebuah mailing list, seseorang mengirimkan 'puisi' untuk Faiz. Isinya kurang lebih meminta Faiz untuk menulis sebagaimana anak lainnya. Ia menyarankan Faiz menulis tentang gunung, awan serta pemandangan lainnya, tentang nenek, kakek, tentang es krim, pesawat, mobil, dan semacamnya. Itu saja. Menurut si pengirim, 'biarlah urusan politik diurus oleh Pak De Hamzah Haz, Pak De Amin Rais, Bu De Megawati dan Om Kwik Kian Gie". Lebih jauh ia meminta Faiz untuk tidak berpuisi, melainkan bermain sepuas-puasnya sebagaimana anak lain seusia Faiz.

Apakah komentar Faiz tentang hal ini? Dia tersenyum. "Lagi-lagi orang dewasa yang tidak demokratis," ujarnya sambil ngeloyor pergi bermain bersama teman-temannya. "Yang nulis seperti itu kan sudah banyak. Aku juga sering menulis hal itu, juga tentang kucingku waktu aku kecil."

Kami sendiri terbahak manakala membaca tulisan tersebut. Tanpa disuruhpun Faiz dengan senang hati bermain sepeda, basket, sepak bola, gundu, berenang, bahkan kadang-kadang computer games. Dan di luar puisinya yang beredar di internet, sebenarnya Faiz memiliki banyak puisi lain-tentang dunia anak bawah 10 tahun yang disebut-sebut itu.

Sejumlah orang menduga Faiz kutu buku dan sangat serius. Tidak. Sejauh ini, ia bahkan lebih suka bermain ketimbang membaca atau menonton televisi. Ia juga humoris dan sangat menikmati masa kanak-kanaknya.

Tapi Faiz gemar bertanya. Rasa ingin tahunya besar. Pada usia empat tahun, ia bertanya tentang bagaimana bentuk angin, mengapa Allah tidak terlihat, mengapa mata kita berkedip dan banyak lagi. Ia pun suka bermain peran dan bercerita. Entah mengapa, hampir semua peran dan ceritanya mengenai orang-orang 'kecil' di negeri ini.

"Bunda, sekarang pura-puranya aku jadi tukang koran ya!" Atau: "Bunda, sekarang aku jadi anak tukang jual kue ya!" Dan: "Aku sedang jadi supir angkot yang kecapekan!"

Ia sering bercerita tentang temannya. Kadang teman yang sebenarnya, dan kadang tentang teman imajinernya. Ketika kami bertanya tentang Mimis--anak seumurnya yang diceritakannnya sebagai korban kerusuhan 1998-- Faiz tertawa "Bunda, bunda. Itu kan cuma teman khayalanku saja!"

Ia juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak terduga. "Aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga." Lalu: "Aku ingin Allah mencium ayah bunda dalam tamanNya terindah nanti." Atau: "Bunda, apakah cinta selalu menyediakan airmata?" Kami sering menyediakan waktu panjang untuk sekadar ngobrol dan merekam apa yang diucapkan Faiz sejak ia kecil. Kelak, setelah Faiz duduk di TK, kami menyemangatinya bahwa apa yang ia ucapkan sangat puitis dan bila ditulis akan menjelma puisi yang sangat indah.

Pada usia enam tahun, Faiz menjadi montir kecil yang menolong Bundanya mengembalikan file yang tak sengaja terhapus di komputer kami. Ia juga yang mengajari Oma-nya menggunakan fasilitas sms. Ia mengajari om dan tantenya menggunakan kamera digital, PDA dan handycam. Dia masih sering bicara soal cinta dan gemar meledek ayahnya. "Cintaku pada Bunda sebesar Amerika Serikat," katanya suatu ketika. "Kalau cinta Faiz pada ayah?" tanya kami. "Sebesar Timor-timur," jawabnya sambil tergelak-gelak. Pada tahun 2001 itu, Timor-timur sedang jadi berita karena dalam proses lepas dari Indonesia.

Saya jadi ingat kecemasan John Naisbitt dalam bukunya 'High Tech, High Touch' tentang orang-orang tua yang kehilangan kendali atas anak-anaknya karena anak-anak mereka lebih fasih dalam teknologi. Saya bersyukur Faiz sejauh ini masih terkendali.

Ketika Faiz memenangkan lomba menulis surat pada presiden, mulai muncul pertanyaan, "Bagaimana caranya mendidik anak supaya menjadi seperti Faiz? Apa yang diajarkan pada Faiz?" Pertanyaan seperti ini belakangan semakin sering kami terima, seiring dengan beredarnya puisi-puisi Faiz di berbagai mailing list di internet. Puisi-puisi ini beredar tidak sengaja karena semula kami edarkan guna kalangan terbatas untuk memperoleh umpan balik dan endorsement dalam rangka penerbitan buku Faiz oleh Mizan.

Sesungguhnya kamilah yang banyak belajar dari Faiz. Anak ini punya empati besar pada sekitar. Suatu hari ketika kami mengajaknya pergi naik angkutan kota 02 jurusan Cililitan, angkot tersebut berhenti di lampu merah Garuda-Taman Mini. Di sana banyak anak jalanan mengemis dan mengamen. Faiz mencolek bundanya dengan mata basah dan berkata, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak menaruh mereka semua di rumah kita?" Dan: "Kalau jadi presiden, aku sih akan sering datang melihat mereka."

Begitu juga bila ada tukang nasi goreng lewat di tengah malam---dan kebetulan Faiz belum tidur-Faiz akan bertanya, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak membeli nasi goreng malam ini?" Ketika bundanya berkata, "Nak, ini sudah malam, kita sudah mau tidur. Kita pun sudah makan." Mendengar jawaban itu, Faiz membalikkan badan dan menitikkan airmata. "Apa salahnya sih menolong orang?"

Tanpa kami ingatkan, sepertiga uangnya dari hasil lomba atau dari manapun, selalu disumbangkan bagi mereka yang tak mampu. Ketika kami ajak untuk syukuran HUT-nya di Panti Balita, Cipayung, Faiz berkata: "Tidak usah deh. Aku usul kirim makanan enak aja buat mereka. Kan kasihan mereka ulangtahunnya nggak pernah dirayakan, masak aku merayakan di sana?"

Kami mendidik Faiz dengan cara yang biasa, sebagaimana cara jutaan orang tua lainnya di Indonesia. Kami membiasakan diri berdialog dengan Faiz, menyajikan pilihan-pilihan yang tersedia baginya, berdiskusi tentang bagaimana ia dapat memilih, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan seterusnya. Sahabat kami, Santi Soekanto, pernah menasihati kami, jauh sebelum Faiz lahir, agar tidak memperlakukan anak dengan cara yang kekanak-kanakan.

Kami bersyukur karena Faiz mudah diajak dialog. Tapi kami lebih bersyukur karena Faiz bukan tipe 'pak turut.' Ia selalu bertanya mengapa begini, mengapa begitu sebelum melakukan sesuatu. Kadang kala memang melelahkan-sampai-sampai sering kami harus mencari referensi tentang hal yang ia tanyakan. Tapi Faiz terlatih untuk melakukan segala sesuatu dengan alasan.

Kami mendidik Faiz dengan cara biasa. Karena itu kami miris manakala gelombang pujian berdatangan dari mana-mana, "Faiz anak luar biasa."Kami khawatir pujian berlebihan ini mengecilkan room for error (ruang kesalahan) bagi Faiz. Dalam batas-batas tertentu, Faiz masih butuh belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.

Kami juga khawatir pujian berlebihan ini membuat orang-orang tua lainnya terhalang untuk memberi kesempatan yang sebesar-besarnya bagi anak mereka masing-masing. Padahal kami yakin jika anak-anak punya kesempatan yang besar untuk mengembangkan dirinya sendiri, niscaya kita akan menyaksikan lebih banyak harapan yang tumbuh bagi Indonesia yang lebih
baik.

Dan Faiz? Justru karena ia memiliki kepolosan kanak-kanak dan jiwa yang bersih, kami yakin suara dalam puisinya adalah perasaan dan harapan yang sesungguhnya. Bukan dusta sebagaimana yang dikira oleh seseorang di bawah ini:

From: ikra@sbcglobal.net
Sent: 11 Januari 2004 20:40
To: islamliberal@yahoogroups.com
Subject: Re: ~JIL~ Sajak Anak 8 Tahun Menjelang Pemilu

Karena ini ditulis oleh penyair kanak-kanak, maka komentar saya:
Yah... bual macem apa pulalah ini! Puisi itu bukan tempat untuk membual, Nak Faiz
===
Kami tak akan pernah memaksa Faiz untuk melakukan sesuatu, namun akan terus mendorong Faiz untuk berkarya dalam lapangan apapun yang ia suka. Kami tak ingin meremehkan kemampuan anak kami atau jutaan anak Indonesia lainnya. Mereka cerdas dan mempunyai potensi yang luar biasa. Tinggal apakah kita mau memperhatikan, mendorong dan memberikan ruang bagi mereka.

Kami bangga pada Faiz. Kami sayang padanya dan akan terus bekerja keras mendidik serta mengembangkannya agar ia dapat tumbuh sebagaimana yang Allah Ta'ala kehendaki baginya.

Silakan memberikan saran, kritik atau masukan bagi karya Faiz, Faiz atau bagi kami.

Salam
Tomi Satryatomo (wisat@cbn.net.id)
Helvy Tiana Rosa (helvytr@cbn.net.id)

No comments: