10 April 2008

DhaNi

Mohamad Kadhafi Mukrom

Sang Ketua Yang Cool. Namun dibalik ketenangannya, pekerjaan seberat apapun terselesaikan dengan baik. Maju bersama jeng Nunik, yang dari cah Pekalongan, Wong Kito satu ini, dipercaya bakal mampu mengangkat pamor SP BEI ke pamor yang lebih baik lagi. Sebagaimana mereka telah buktikan di BAPOR


Nunik Nuzulia

Dengan pembawaan yang rame, diharapkan mampu mengimbangi keCoolan sang Ketua. Ember yang tidak pernah ketinggalan, diharapkan sanggup menampung aspirasi anggota.



Dhafi dan Nunik merupakan dua diantara rising star di BEI. Menapak karier dari bawah, hingga mampu mencapai level Head Unit. Selain BAPOR, keduanya aktif dalam berbagai kegiatan besar yang pernah diselenggarakan oleh perusahaan.


Bravo DhaNi !!
Dhafi dan Nunik
pengayom kita

28 March 2005

From: Aten Nugraha
Sent: Friday, June 08, 2001 4:32 PM

Asap tebal meningkat
Membuat nafas seakan di ikat
Karena BBM semakit mencuat
Akibat salah satu maklumat

Kini setetes harapan mengalir
Menyirami hati yang ketir
Untuk membuat dapur bergulir
Dan istri tidak lari kocar kacir

Disana sebuah perahu negri
Bernyanyi mengalun tinggi
Menaikan bendera di tiang tinggi
Sampai 14 Persen terjanji

Disini sebuah sampan ternama
Lagi di terjang air dan bencana
Sehingga hembusan angin tidak terasa
Karena nahkoda takut di cerca

Biarlah tetesan 2 persen ini
Menjadi pelepas dahaga dini
Menunggu guyuran mimpi
Untuk membeli Volvo yang tidak jadi

Semoga nahkoda semakin kuat
Membawa sampan sampai merapat
Membuat awak tidak sekarat
Karena air bah yang hebat....

Semoga.....



From: Aten Nugraha
Sent: Friday, March 30, 2001 9:12 AM
To: Erie Prakoso
Cc: All Karyawan BEJ
Subject: Selamat jalan Teman
[gta : saat Erie Prakoso pamitan dari BEJ]

Satu Orang lagi Berlalu
Tiga tahun lebih terjalani
Menuliskan tinta sejak dini
Menrangkai kata untuk meniti
Dengan tekad bulat untuk berbakti

Tiga tahun sudah meniti karir
Mengasah otak untuk berfikir
Bercucur keringat sampai terpelintir
Agar BOS tidak sampai kuatir

Tiga tahun waktu berjalan
Saat Engkau merekrut karyawan
Datang ke ITB salah satu tujuan
KIni kau tinggalkan kami lebih duluan

Tiga tahun sudah takan kaulupakan
HIdup bersama dalam satu perusahaan
KIni kau pergi menambah penghaisilan
Mengejar cita-cita dan harapan

Teriakan GOL akan hilang
Saat bola masuk kegawang
Bersama Ptata sebagi penghadang
Bermain FIFA 2000 akan kau kenang

MataMU yang berkaca-kaca
Berat meninggalkan sahabat tercinta
kuatnya hati menahan linangan air mata
Bertanda Engkau punya makna
Latai empat akhir dari kenagan
Semua karyawan melambaikan tangan
Dihiasi berkah sajian makanan
Berbekal pepatah Goklas Tambunan
Satu lagi seorang akan berlalu
Meninggalkan kapal yang melaju
Menuju samudra perahu baru
Yang lebih tau dan bermutu

Semoga perahu baruMU berlabuh Membawa harapanMU yang tumbuh Membawa cita-citaMU yang bergemuruh Sukses selalu sampai bersimpuh...
Semoga....
SalaM


From: Aten Nugraha
Sent: Friday, March 16, 2001 9:52 AM
To: Yanuar Rizky; Gunadi Hastowo; Goklas Tambunan; All Karyawan BEJ
Subject: RE: saat trend berubah

Kecil Besar Sama Saja

Kecil...

Kecil biasa terabaikan
Kecil bisa juga meledakan
kecil bisa pimpin perusahaan
kecil harus terus di perhatikan

Besar....

Besar biasa diperhatikan
Besar biasa jadi perhatian
Besar kadang bahan gunjingan
Besar tidak semua bisa dapatkan

Kecil Besar Sama Saja

Air kecil menetes dari langit
Kalau tidak hentil bumi akan menjerit
Sungai kecil dari parit
Bermuara di laut beratap langit 


Kecil dan besar ciptaan tuhan
Keduanya saling bergandengan
Keduanya bahan renungan
Bagi insan yang berpikir ke depan

Kecil dan besar ada di perusahaan
Kecil dan besar ada di lingkungan
Kecil dan besar ada di setiap insan
Kecil dan besar perlu di realisasikan

SaLam


From: Aten Nugraha
Sent: Friday, July 13, 2001 10:09 AM

BURSA EFEK JAKARTA

Awan putih mempesona
Rumput hijau merona
Pepohonan memggoyang singgasana
Saat engkau lahir kedunia

Gelegar kelahiranMU
Menggetarkan investor ragu
Menggoyang dunia tertuju
Mewaranai ekonomi baru

TunasMU mekar dengan cepat
Bersinar secepat kilat
Harum semerbak ke seluruh jagat
Agar investor dunia terpikat

Engkau telah di sirami
oleh direksi silih berganti
Suka, duka singgah di hati
Di dada karyawan abadi

WangiMU yang menggoda
NamaMu yang bercahaya
BUkan hanya dari nahkoda
Tapi, dari karyawan semua

9 tahun sudah berkibar
Membuat namaMU semakin tenar
Walau kadang karyawan terlantar
Mereka ilkas meskipun terkapar

13 Juli akan menjadi saksi
UntukMu bercermin diri
Dengan kami karayawan sejati
Membangun BEJ yang di cintai

Harum namaMU
Ada di senyumKU
Cahaya sinarMU
Ada di dadaKU

SELAMAT ULANG TAHUN
BURSA EFEK JAKARTA


13 juli 2001

Itoperation



From: Aten Nugraha
Sent: Friday, November 17, 2000 4:15 PM
To: Mauludiah; Aprison
Cc: All Karyawan BEJ
Subject: RE: SAMA RATA

Angin bertiup kencang
Mengiringi dua insan terkekang
Gelap datang tidak terhalang
mendengar kata dua insan bertentang

Ditengah pertentangan
biasanya terdapat pasangan
lambat laun pasti berduaan
berlanjut ke pelaminan

Mula-mula berprinsip keras
Lama-lama saling memelas
berisi cinta yang memanas
sampai-sampai baju terlepas

Puncuk di cinta ulan pun tiba
datangnya cinta siapa menduga
tinggal diselesaikan berdua
Aprison dan Mauludiah saja

he.....eeeee

Atas nama User_rep turun berdoa...:)

BUkan gitu..........(NYA heueuh............)

Air akan turun kedataran rendah
menyusuri lantai satu ke Mauludiah

--Santai Sesaat-- (Resiko)

16 April 2004

MARAH SEPERTI KEPITING?Berdasarkan pengalaman penduduk di Kalimantan Barat, ada cara memancing kepiting dengan tidak mengorbankan hewan lainnya sebagai umpan, berikut pengalaman seseorang sewaktu memancing kepiting dengan cara sederhana..

Bagaimana cara memancing kepiting? kami menggunakan sebatang bambu, mengikatkan tali ke batang bambu itu, di ujung lain tali itu kami mengikat sebuah batu kecil. Selanjutnya kami mengayun-ayun bambu itu agar batu di ujung tali terayun menuju kepiting yang kami incar, kami mengganggu kepiting itu dengan batu, menyentak dan menyentak agar Kepiting itu marah, dan kalau itu berhasil maka kepiting itu akan menggigit tali atau batu itu dengan geram, capitnya akan mencengkeram batu atau tali dengan kuat sehingga kami leluasa mengangkat bambu dengan ujung tali berisi seekor kepiting gemuk yang sedang marah.

Kami tinggal mengayun perlahan bambu agar ujung talinya menuju sebuah wajan besar yang sudah kami isi dengan air mendidih karena di bawah wajan itu ada sebuah kompor dengan api yang sedang menyala.

Kami celupkan kepiting yang sedang murka itu ke dalam wajan tersebut, seketika kepiting melepaskan gigitannya dan tubuhnya menjadi merah, tak lama kemudian kami bisa menikmati kepiting rebus yang sangat lezat.

Kepiting itu menjadi korban santapan kami karena kemarahannya, karena kegeramannya atas gangguan yang kami lakukan dengan peralatan sederhana: sebatang bambu, seutas tali dan sebuah batu kecil.

Kita mungkin sering melihat banyak orang jatuh dalam kesulitan, menghadapi berbagai masalah, kehilangan peluang, kehilangan jabatan, kehilangan teman, kehilangan pasangan, bahkan kehilangan segalanya karena "MARAH/ MURKA" yang dilampiaskan tidak pada tempatnya. Contoh klasik adalah Rahwana yang gampang murka dan tragis nasibnya.

Jadi, kalau kita menghadapi gangguan, apapun bentuknya, baik itu batu kecil atau batu besar, selayaknya tidak reaktif, hadapilah dengan bijak dan cerdas, redam kemarahan sebisa mungkin agar jantung tidak terlalu lama berdebar kencang (mungkin bagi setiap orang tidak sama kemampuannya dan realitasnya memang tidak gampang), menghindar dengan menahan diri sejenak dua atau tiga detik, menarik napas panjang, tahan sebentar di perut, naikkan ke dada lalu buang napas, kalau perlu pergilah ke kamar kecil, cuci muka atau basuhlah tangan dengan air dingin, agar murka kita mereda sejenak sehingga kita terlepas dari ancaman atau jebakan wajan panas yang bisa merusak perencanaan dan menghancurkan masa depan. ---

24 March 2004

Waktu sedang dalam penantian menunggu waktu berakhirnya jam three in one....iseng aku bongkar-bongkar folder milis pasarbuku dan menemukan email sebagaimana di bawah ini. Masih tentang seorang anak yang menulis surat kepada Presiden.

-----Original Message-----
From: Helvy Tiana Rosa [mailto:helvytr@cbn.net.id]
Sent: Wednesday, January 28, 2004 12:44 AM
To: Forum_LingkarPena@yahoogroups.com; pasarbuku@yahoogroups.com; profetik@yahoogroups.com; alumnus_formasi@yahoogroups.com
Cc: qahwaji@yahoogroups.com; bukandongeng@yahoogroups.com; pelanginurani@yahoogroups.com
Subject: [PasarBuku] Catatan Kecil dari Orangtua Biasa

ANANDA FAIZ TERCINTA; CATATAN KECIL DARI ORANGTUA BIASA
(Disampaikan pada peluncuran buku kumpulan puisi Untuk Bunda dan Dunia, karya Abdurahman Faiz, 27 januari 2004)

Belum lama ini, melalui sebuah mailing list, seseorang mengirimkan 'puisi' untuk Faiz. Isinya kurang lebih meminta Faiz untuk menulis sebagaimana anak lainnya. Ia menyarankan Faiz menulis tentang gunung, awan serta pemandangan lainnya, tentang nenek, kakek, tentang es krim, pesawat, mobil, dan semacamnya. Itu saja. Menurut si pengirim, 'biarlah urusan politik diurus oleh Pak De Hamzah Haz, Pak De Amin Rais, Bu De Megawati dan Om Kwik Kian Gie". Lebih jauh ia meminta Faiz untuk tidak berpuisi, melainkan bermain sepuas-puasnya sebagaimana anak lain seusia Faiz.

Apakah komentar Faiz tentang hal ini? Dia tersenyum. "Lagi-lagi orang dewasa yang tidak demokratis," ujarnya sambil ngeloyor pergi bermain bersama teman-temannya. "Yang nulis seperti itu kan sudah banyak. Aku juga sering menulis hal itu, juga tentang kucingku waktu aku kecil."

Kami sendiri terbahak manakala membaca tulisan tersebut. Tanpa disuruhpun Faiz dengan senang hati bermain sepeda, basket, sepak bola, gundu, berenang, bahkan kadang-kadang computer games. Dan di luar puisinya yang beredar di internet, sebenarnya Faiz memiliki banyak puisi lain-tentang dunia anak bawah 10 tahun yang disebut-sebut itu.

Sejumlah orang menduga Faiz kutu buku dan sangat serius. Tidak. Sejauh ini, ia bahkan lebih suka bermain ketimbang membaca atau menonton televisi. Ia juga humoris dan sangat menikmati masa kanak-kanaknya.

Tapi Faiz gemar bertanya. Rasa ingin tahunya besar. Pada usia empat tahun, ia bertanya tentang bagaimana bentuk angin, mengapa Allah tidak terlihat, mengapa mata kita berkedip dan banyak lagi. Ia pun suka bermain peran dan bercerita. Entah mengapa, hampir semua peran dan ceritanya mengenai orang-orang 'kecil' di negeri ini.

"Bunda, sekarang pura-puranya aku jadi tukang koran ya!" Atau: "Bunda, sekarang aku jadi anak tukang jual kue ya!" Dan: "Aku sedang jadi supir angkot yang kecapekan!"

Ia sering bercerita tentang temannya. Kadang teman yang sebenarnya, dan kadang tentang teman imajinernya. Ketika kami bertanya tentang Mimis--anak seumurnya yang diceritakannnya sebagai korban kerusuhan 1998-- Faiz tertawa "Bunda, bunda. Itu kan cuma teman khayalanku saja!"

Ia juga mengeluarkan kalimat-kalimat yang tak terduga. "Aku mencintai Bunda seperti aku mencintai surga." Lalu: "Aku ingin Allah mencium ayah bunda dalam tamanNya terindah nanti." Atau: "Bunda, apakah cinta selalu menyediakan airmata?" Kami sering menyediakan waktu panjang untuk sekadar ngobrol dan merekam apa yang diucapkan Faiz sejak ia kecil. Kelak, setelah Faiz duduk di TK, kami menyemangatinya bahwa apa yang ia ucapkan sangat puitis dan bila ditulis akan menjelma puisi yang sangat indah.

Pada usia enam tahun, Faiz menjadi montir kecil yang menolong Bundanya mengembalikan file yang tak sengaja terhapus di komputer kami. Ia juga yang mengajari Oma-nya menggunakan fasilitas sms. Ia mengajari om dan tantenya menggunakan kamera digital, PDA dan handycam. Dia masih sering bicara soal cinta dan gemar meledek ayahnya. "Cintaku pada Bunda sebesar Amerika Serikat," katanya suatu ketika. "Kalau cinta Faiz pada ayah?" tanya kami. "Sebesar Timor-timur," jawabnya sambil tergelak-gelak. Pada tahun 2001 itu, Timor-timur sedang jadi berita karena dalam proses lepas dari Indonesia.

Saya jadi ingat kecemasan John Naisbitt dalam bukunya 'High Tech, High Touch' tentang orang-orang tua yang kehilangan kendali atas anak-anaknya karena anak-anak mereka lebih fasih dalam teknologi. Saya bersyukur Faiz sejauh ini masih terkendali.

Ketika Faiz memenangkan lomba menulis surat pada presiden, mulai muncul pertanyaan, "Bagaimana caranya mendidik anak supaya menjadi seperti Faiz? Apa yang diajarkan pada Faiz?" Pertanyaan seperti ini belakangan semakin sering kami terima, seiring dengan beredarnya puisi-puisi Faiz di berbagai mailing list di internet. Puisi-puisi ini beredar tidak sengaja karena semula kami edarkan guna kalangan terbatas untuk memperoleh umpan balik dan endorsement dalam rangka penerbitan buku Faiz oleh Mizan.

Sesungguhnya kamilah yang banyak belajar dari Faiz. Anak ini punya empati besar pada sekitar. Suatu hari ketika kami mengajaknya pergi naik angkutan kota 02 jurusan Cililitan, angkot tersebut berhenti di lampu merah Garuda-Taman Mini. Di sana banyak anak jalanan mengemis dan mengamen. Faiz mencolek bundanya dengan mata basah dan berkata, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak menaruh mereka semua di rumah kita?" Dan: "Kalau jadi presiden, aku sih akan sering datang melihat mereka."

Begitu juga bila ada tukang nasi goreng lewat di tengah malam---dan kebetulan Faiz belum tidur-Faiz akan bertanya, "Bunda, alasan apa yang menyebabkan kita tidak membeli nasi goreng malam ini?" Ketika bundanya berkata, "Nak, ini sudah malam, kita sudah mau tidur. Kita pun sudah makan." Mendengar jawaban itu, Faiz membalikkan badan dan menitikkan airmata. "Apa salahnya sih menolong orang?"

Tanpa kami ingatkan, sepertiga uangnya dari hasil lomba atau dari manapun, selalu disumbangkan bagi mereka yang tak mampu. Ketika kami ajak untuk syukuran HUT-nya di Panti Balita, Cipayung, Faiz berkata: "Tidak usah deh. Aku usul kirim makanan enak aja buat mereka. Kan kasihan mereka ulangtahunnya nggak pernah dirayakan, masak aku merayakan di sana?"

Kami mendidik Faiz dengan cara yang biasa, sebagaimana cara jutaan orang tua lainnya di Indonesia. Kami membiasakan diri berdialog dengan Faiz, menyajikan pilihan-pilihan yang tersedia baginya, berdiskusi tentang bagaimana ia dapat memilih, menjawab pertanyaan-pertanyaannya dan seterusnya. Sahabat kami, Santi Soekanto, pernah menasihati kami, jauh sebelum Faiz lahir, agar tidak memperlakukan anak dengan cara yang kekanak-kanakan.

Kami bersyukur karena Faiz mudah diajak dialog. Tapi kami lebih bersyukur karena Faiz bukan tipe 'pak turut.' Ia selalu bertanya mengapa begini, mengapa begitu sebelum melakukan sesuatu. Kadang kala memang melelahkan-sampai-sampai sering kami harus mencari referensi tentang hal yang ia tanyakan. Tapi Faiz terlatih untuk melakukan segala sesuatu dengan alasan.

Kami mendidik Faiz dengan cara biasa. Karena itu kami miris manakala gelombang pujian berdatangan dari mana-mana, "Faiz anak luar biasa."Kami khawatir pujian berlebihan ini mengecilkan room for error (ruang kesalahan) bagi Faiz. Dalam batas-batas tertentu, Faiz masih butuh belajar dari kesalahan-kesalahan yang ia lakukan.

Kami juga khawatir pujian berlebihan ini membuat orang-orang tua lainnya terhalang untuk memberi kesempatan yang sebesar-besarnya bagi anak mereka masing-masing. Padahal kami yakin jika anak-anak punya kesempatan yang besar untuk mengembangkan dirinya sendiri, niscaya kita akan menyaksikan lebih banyak harapan yang tumbuh bagi Indonesia yang lebih
baik.

Dan Faiz? Justru karena ia memiliki kepolosan kanak-kanak dan jiwa yang bersih, kami yakin suara dalam puisinya adalah perasaan dan harapan yang sesungguhnya. Bukan dusta sebagaimana yang dikira oleh seseorang di bawah ini:

From: ikra@sbcglobal.net
Sent: 11 Januari 2004 20:40
To: islamliberal@yahoogroups.com
Subject: Re: ~JIL~ Sajak Anak 8 Tahun Menjelang Pemilu

Karena ini ditulis oleh penyair kanak-kanak, maka komentar saya:
Yah... bual macem apa pulalah ini! Puisi itu bukan tempat untuk membual, Nak Faiz
===
Kami tak akan pernah memaksa Faiz untuk melakukan sesuatu, namun akan terus mendorong Faiz untuk berkarya dalam lapangan apapun yang ia suka. Kami tak ingin meremehkan kemampuan anak kami atau jutaan anak Indonesia lainnya. Mereka cerdas dan mempunyai potensi yang luar biasa. Tinggal apakah kita mau memperhatikan, mendorong dan memberikan ruang bagi mereka.

Kami bangga pada Faiz. Kami sayang padanya dan akan terus bekerja keras mendidik serta mengembangkannya agar ia dapat tumbuh sebagaimana yang Allah Ta'ala kehendaki baginya.

Silakan memberikan saran, kritik atau masukan bagi karya Faiz, Faiz atau bagi kami.

Salam
Tomi Satryatomo (wisat@cbn.net.id)
Helvy Tiana Rosa (helvytr@cbn.net.id)

10 March 2004

Makna Sebuah Titipan

Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milik ku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Allah...
bahwa rumahku hanya titipan-Nya...
bahwa hartaku hanya titipan-Nya...
bahwa putraku hanya titipan-Nya...

tetapi...,
mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan pada ku?
untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?
dan kalau bukan milik ku,
apa yang harus ku lakukan untuk milik Nya ini?

Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milik ku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali
oleh-Nya ?.

Ketika diminta kembali...
ku sebut itu sebagai musibah...
ku sebut itu sebagai ujian...
ku sebut itu sebagai petaka...
ku sebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah
derita.

Ketika aku berdoa...
ku minta titipan yang cocok dengan hawa nafsu ku...
aku ingin lebih banyak harta...
ingin lebih banyak mobil...
lebih banyak popularitas...
dan ku tolak sakit...
kutolak kemiskinan...
seolah semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika...
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku...
dan nikmat dunia kerap menghampiriku...

ku perlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih...
ku minta Dia membalas 'perlakuan baikku'...
dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku...

Gusti,
padahal tiap hari ku ucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja"

Sumber: Makna Sebuah Titipan oleh WS Rendra

08 January 2004

"Kwetiau Polos"
Catatan Dari Masa Kecil
Oleh: Mula Harahap


Saya pernah makan kwetiau di Kelapa Gading. Saya pernah makan kwetiau di Pluit. Saya pernah makan kwetiau di Muara Karang, Mangga Besar, Kedoya dan dimana saja. Tapi saya rasa tidak ada yang mengalahkan kelezatan kwetiau polos yang dijual di "pajak" dekat rumah dan yang menjadi sarapan setiap pagi, ketika kita masih kecil dahulu.

Nefo Ginting mengatakan bahwa kwetiau polos yang paling lezat sedunia adalah yang dijual di "pajak" Sukaramai. Arnold Harahap mengatakan yang paling lezat adalah yang dijual di "pajak" Kebun Sayur. Rumondang Pasaribu mengatakan yang paling lezat adalah yang dijual di "pajak" Kampung Keling. Dan tentu saja saya mengatakan bahwa yang paling lezat adalah yang dijual di "pajak" Kampung Baru.

Semua memiliki kwetiau polosnya masing-masing. Dan karena itu pulalah, maka ketika suatu hari di pagi buta, Rumondang Pasaribu mengajak kami naik becak dari Hotel Tiara ke Kampung Keling, maka tidak ada yang antusias dengan gagasannya. Terpaksalah ia pergi sendiri menemui kwetiau polosnya.

Saya sering terkenang akan kelezatan kwetiau polos yang kami beli dari "pajak" Kampung Baru dahulu.

Saya tak habis pikir, "magic" apa yang ditaburkan oleh Si Aseng penjajanya itu sehingga membuat saya-dan siapa pun yang sarapannya dahulu adalah kwetiau polos--menjadi begitu tergila-gila.

Seperti yang dikesankan oleh namanya, maka sebenarnya kwetiau ini tidak memiliki apa pun. Ia hanya kwetiau yang digoreng dengan minyak, diberi bawang merah, bawang putih, sawi dan sambal. Jangan harap ada daging kepiting, potongan sosis atau telur bebek di dalamnya. Dan seperti juga yang dikesankan oleh namanya, maka inilah kwetiau yang paling murah sedunia...

Disamping roti manis dan pulut ("with or without pisang goreng"), maka inilah sarapan kami-enam bersaudara--selama "berabad-abad". Dan anehnya, kami tak pernah bosan.

Saya masih ingat, setiap pagi adalah tugas adik saya Ronitua--sebagai anak nomor tengah, untuk pergi ke pajak membeli sarapan.

Dan setiap pagi pula berlangsung "upacara" yang sama, sebelum memulai sarapan. Enam kwetiau dijajar di meja dan daun pisang pembungkusnya dibuka lebar-lebar. Lalu semua sibuk memelototi apakah takaran isinya sudah sama. ("Itu koq banyak..." Lalu bungkusan yang dianggap banyak mulai dikurangi. "Bah, koq jadi itu yang banyak...." Kembali isi bungkusan yang kedua dikurangi dan dimasukkan ke bungkusan yang ketiga. Diskusi soal keadilan kwetiau bisa berlangsung selama beberapa menit dan berujung pada pertengkaran).

Ada kalanya pula, hanya lima kwetiau yang diletakkan di meja untuk diamati. Anak yang diberi tugas belanja, menyembunyikan jatah kwetiaunya. ("Hei, kau punya mana? Letakkan dan buka juga di sini..." Atas desakan "masyarakat" terpaksalah ia meletakkan kwetiaunya di meja. "Koq kau punya pakai telor?"--"Kau korupsi, ya?!"--"Kau ambil telor dari lemari, ya?!"--"Aku pakai duit sendiri!"--"Akh, jangan banyak cakap kau!"--"Sudah, mulai besok aku tidak mau lagi beli untuk kalian!").

Proses memasukkan kwetiau ke mulut hanya membutuhkan waktu dua atau tiga menit; tapi diskusi dan pertengkaran yang mendahuluinya selalu lebih lama. Ada kalanya pula--dan ini sering terjadi-pertengkaran berujung pada tangisan. Terpaksa dibutuhkan waktu lebih lama lagi untuk melakukan "gencatan senjata".

Selesai bertengkar dan makan kwetiau barulah semua tergerak untuk mandi. Dan cilakanya, untuk enam anak dan satu bapak yang hendak bersiap setiap pagi, hanya ada satu kamar mandi. ("Hoi, cepat sedikit!"--"Sabaaaar!"--"Aku sudah tak tahan lagi!"--"Buar! Buar!" Suara pintu digedor--"Pakai pispot itu!"--"Diam kau!").

Ketika sebulan lalu saya berkunjung ke Medan dan bermalam di Kampung Baru, maka saya tergerak untuk mencicipi kwetiau polos yang dahulu membuat kami gegap-gempita itu.

Aneh! Tiba-tiba kwetiau polos yang selalu saya banggakan itu, terasa hambar di lidah. Kemudian sadarlah saya, bahwa ternyata kwetiau polos itu terasa lezat karena diberi "bumbu" suasana; pertengkaran kakak-beradik di pagi hari, dari sebuah keluarga yang secara ekonomi sangat bersahaja..
"Kolor Bupati"
Catatan Dari Masa Kecil
Oleh : Mula Harahap



Orang Medan memang selalu memiliki visi yang brilian. Kalau kesadaran akan pentingnya meletakkan kekuasaan penyelenggaraan negara ke daerah tingkat dua, baru ramai dibicarakan pada era reformasi ini, maka hal yang sama telah diantisipasi oleh orang Medan sejak 30 tahun lalu!

Ya, setidak-tidaknya, pada masa saya duduk di bangku SMP, saya telah mengenal istilah "kolor bupati". Walau pun terminolgi ini samasekali tidak ada kaitannya dengan politik; tapi dari sini sebenarnya telah
tersirat, betapa pentingnya peranan kepala daerah tingkat dua yang disebut "bupati" itu.

Adapun barang yang disebut "kolor bupati" sebenarnya hanyalah sepotong celana dalam pria yang terbuat dari kain katun atau blacu, memakai tali sebagai penahan di pinggang dan kakinya relatif panjang.

Kalau "kolor bupati" telah pensiun sebagai celana dalam, maka biasanya ia akan melanjutkan tugasnya sebagai kain pel atau pembungkus buah nangka. Untuk menjaga serangan hama dan agar dapat matang secara sempurna, maka buah nangka di pohon perlu diberi penutup. Karena itulah, kadang-kadang "kolor bupati" disebut juga sebagai "kolor nangka".

Sebagaimana halnya anak-anak lelaki normal lainnya pada masa tahun 60-an, maka setelah tamat SD tibalah juga saatnya bagi saya untuk memakai sebuah celana lain yang bersentuhan langsung ke kulit, disamping celana pendek biru seragam sekolah itu.

Motivasi seorang anak lelaki untuk memakai celana dalam sebenarnya bukan sekedar masalah tradisi dan
etika; tapi juga keamanan. Kalau kita sedang jongkok menonton permainan adu karet atau guli, maka akan ada saja teman yang iseng, yang menjepretkan karet atau menjentikkan guli itu ke bawah celana yang menganga itu.

Pada tahun 60-an toko-toko di Jalan Semarang atau Jalan Zainul Arifin--Medan sebenarnya sudah menjual
celana dalam nilon buatan pabrik. Mereknya "Hings" atau "Frog". Celana dalam merek "Hings" biasanya berwarna putih dan "Frog" berwarna "psychedellic".

Saya lebih menyenangi celana bermerek "Hings". Alasan saya untuk menyenangi "Hings" sebenarnya sederhana saja: Sukar saya menerima gagasan bahwa ada celana dalam lelaki yang bermerek "kodok".

Ketika, kepada Ibu, saya mengutarakan keinginan untuk memakai celana dalam, sebenarnya saya berharap ia membelikan saya beberapa celana merek "Hings". Tapi alih-alih membeli celana, Ibu mengambil persediaan kain belacunya dari lemari dan menjahitkannya sendiri untuk saya. Enam sekaligus!

Saya merasa kecewa. "Mak, mengapa aku tidak boleh memakai celana seperti yang dipakai oleh teman-teman lain?" tanya saya dengan sedikit bernada protes.

"Akh, inilah celana yang betul!" sahut Ibu. "Yang dipakai kawan-kawanmu itu tak sehat, terbuat dari nilon..."

Mungkin Ibu benar. Celana berbahan katun mungkin lebih "sehat" daripada yang berbahan nilon. Tapi saya rasa, alasan utama di balik kegigihannya untuk menjahit sendiri celana itu adalah alasan ekonomi. Karena itu saya diam dan tidak protes lagi.

Begitulah, saya "merayakan" proses masuk ke dunia lelaki remaja dengan "kolor bupati". Dan babak
kehidupan yang baru ini harus saya jalani dengan penuh pergumulan: Saya berusaha menjaga agar jangan sampai ada teman yang mengetahui rahasia besar ini.

Setiap pagi, sebelum berangkat ke sekolah, saya harus lebih dahulu memastikan agar kedut-kedut celana yang menyerupai ujung bantal guling itu benar-benar masuk di bawah celana sekolah. Waktu itu saya belum mengenal budaya memakai singlet. Karena itu, kalau kedut-kedut itu tidak diselipkan jauh-jauh ke dalam, maka kalau saya membungkuk bisa-bisa ia akan terlihat oleh orang lain. Cilakalah saya.

Jam pelajaran olahraga juga menjadi beban yang tersendiri bagi saya. Saya tak pernah mau menukar celana olahraga secara serampangan di kelas. Saya selalu menunggu untuk menukar celana setelah semua semua teman selesai menukar celananya.

Penderitaan saya menjadi sedikit berkurang, ketika pada suatu hari, ternyata ada teman yang tertangkap
basah karena memakai model celana sama seperti yang saya pakai. "Hoi, hoi, kolor bupati..." teriak seisi
kelas kepada anak yang malang itu. Tentu saja saya hanya cengar-cengir dan tidak ikut berteriak.

Bila perbincangan di antara kami, anak lelaki, sudah mengarah ke masalah celana, maka biasanya saya hanya diam dan undur perlahan. "Kolor bupati" benar-benar merupakan siksaan batin bagi saya.

Ketika, satu atau dua tahun kemudian, saya menerima honorarium mengarang dari Si Kuncung, maka hal pertama yang saya lakukan ialah membeli satu-dua celana dalam merek "Hings", yang bagian depannya berlapis-lapis dan dijahit secara "sophisticated" itu. Bukan main bangganya saya dengan celana baru tersebut. Dunia kembali menjadi normal di mata saya. Kini saya tak perlu lagi bersusah payah untuk membenamkan kedut-kedut yang menyerupai kepala bantal guling itu. Kini saya juga tak perlu lagi malu-malu untuk bertukar celana di dalam kelas, sebelum jam pelajaran olahraga.

Saya juga tidak tahu apa yang kemudian terjadi dengan "kolor bupati" itu. Tapi yang jelas, ia tidak menjadi
"kolor nangka". Tubuh saya relatif krempeng pada waktu itu.

Nah, begitulah, beberapa waktu yang lalu, ketika anak lelaki saya kembali dari belanja di "mall", ia membawa sebuah kotak yang ditutup dengan selopan dan di dalamnya ada enam barang warna-warni.

"Apa itu, Bang?" tanya saya kepada anak saya.
"Celana dalam gue..."
"Oh, Bapak sangka dodol garut."
"Bapak ini sudah gila, apa?!"

Dunia memang telah sedemikian maju. Di Sogo, Metro, Takashimaya, Robinson atau Mark & Spencer, departemen pakaian dalam lelaki tak kalah seronoknya dengan departemen "lingerie".

Saya tidak tahu, apakah saya harus cemburu atau kasihan kepada generasi anak saya. Tapi, kalau saya
pikir-pikir lebih jauh, selayaknya saya kasihan. Bagaimana pun saya pernah mengalami punya pakaian
dalam hasil jahitan "mamak" sendiri. Hanya segelintir orang yang memiliki privilese seperti itu.

Begitulah, suatu hari, secara bergurau, saya berkata kepada Ibu yang telah berusia 75 tahun itu, "Mak, coba jahitkan lagi untuk aku celana dalam seperti yang Mamak jahit dahulu. Sudah mulai tak sehat kurasa
celana dalam buatan pabrik ini..."

"Akh, suru tunggani borum mambahen di ho..." sahut Ibu saya dengan nada serius. Ia menganjurkan saya agar meminta isteri saya untuk menjahitnya bagi saya. Tentu saja gagasan untuk menjahit "kolor bupati" adalah suatu hal yang absurd bagi isteri saya.

Begitulah, beberapa waktu yang lalu saya pergi ke Yogyakarta. Di Jalan Malioboro saya melihat banyak
orang menjajakan "kolor bupati" seperti buatan ibu dahulu. Mereknya bermacam-macam. "Bogasari", "tepung terigu" dan "cap segitiga biru".

Saya seolah-olah menemukan kembali masa kecil dahulu. Dengan serta-merta, celana yang eksotis itu saya beli sepotong.

Kini, kalau malam hari saya tidak bisa tidur, dan merasa dunia ini telah semakin sumpeg serta semakin panas, maka saya kenakan "kolor bupati" itu. Saya duduk minum kopi dan merokok di teras...
"Lonceng Sekolah"
Catatan Dari Masa Kecil
Oleh: Mula Harahap - sebagaimana pernah diposting di milis : pasarbuku pada tanggal 31 Agustus 2003


Lonceng sekolah kami--ketika saya masih bersekolah di SD Immanuel, Jalan Diponegoro, Medan--adalah lonceng yang paling indah di dunia. Saya berani mengatakan demikian, karena saya sudah mengamati begitu banyak sekolah dan begitu banyak lonceng.

Ada sekolah yang loncengnya terbuat dari peleg ban mobil. Agar berdentang, maka peleg itu harus dipukul dengan sepotong besi.

Ada sekolah yang loncengnya terbuat dari potongan besi rel. Alat pemukulnya juga terbuat dari mur besar, yang biasanya dipakai untuk menahan rel tersebut ke bantalan kayu jati di bawahnya.

Sekolah-sekolah modern memang memakai sistem loncengatau--tepatnya-bel elektronik, yang tombolnya ada di kantor guru dan sumber suaranya ada di setiap kelas.

Tapi, menurut pendapat saya, lonceng ini juga jauh dari indah. Kita tidak pernah bisa melihat sosok lonceng itu. Padahal, sosok lonceng yang tergantung disana dan bisa terlihat, bagi anak-anak, akan memberikan kepastian dan harapan. Walau pun jam isitirahat telah lewat waktu, tapi kalau ibu atau bapak guru belum terlihat di sekitar lonceng, maka itu berarti bahwa kita masih boleh melakukan berbagai transaksi "at the last minute".

Bunyi bel elektronik juga tidak menyenangkan. Hanya sedikit bel elektronik di dunia ini yang berbunyi "kriiing". Sebagian besar bel berbunyi "trooot" atau "kreeek". Dan bunyi itu sangat jauh dari merdu. Kita mungkin masih bisa mentolerir bunyi itu kalau ia merupakan tanda berakhirnya jam pelajaran. Tapi kalau ia merupakan tanda dari awal pelajaran, sungguh sangat menyesakkan hati.

Lonceng sekolah kami--ketika saya masih bersekolah di SD Immanuel, Jalan Diponegoro, Medan--terbuat dari tembaga. Tingginya sekitar 40 cm dan garis menengahnya 30 cm. Ia tergantung dengan kokoh pada sebuah balok jati yang melintang di antara 2 tiang penahan atap di dekat kantor Bapak "Meneer" Sibuea--Kepala Sekolah kami.

Lonceng itu memiliki tali. Dan tali itulah yang ditarik naik-turun agar lonceng berdentang. Tapi tali lonceng itu dibuat sedemikian rupa, agar anak-anak tidak mudah untuk menggapainya. Memang, saya bisa memahami, betapa kacaunya suasana sekolah, kalau lonceng boleh berbunyi pada waktu yang sembarangan.

Namun guru-guru kami, saya rasa, cukup bijaksana juga. Mereka sadar, bahwa ada kalanya mereka terlalu sibuk untuk membunyikan lonceng tersebut, dan mereka memerlukan bantuan anak-anak. Karena itu, di bawah lonceng tersebut diletakkan sebuah tempat sampah yang terbuat dari potongan drum. Untuk dapat menggapai tali lonceng maka kami harus berdiri di pinggiran tempat sampah tersebut.

Lonceng sekolah adalah lambang otoritas, sama halnya seperti tongkat komando yang terselip di ketiak Panglima TNI atau stempel berbentuk cincin yang ada di jari Kaisar-kaisar Cina. Kadang-kadang, saya pikir, lonceng sekolah juga mirip dengan "buah pohon pengetahuan yang baik dan buruk", yang ada di tengah-tengah Taman Firdaus. Kecuali Tuhan, tidak ada seorang pun yang boleh memakan buah tersebut.

Tapi, sejak zaman Adam dan Hawa, manusia memang selalu tergoda untuk melanggar apa yang dilarang, dan menggugat otoritas yang ada di atasnya. Kami anak-anak juga selalu tergoda untuk merasakan bagaimana nikmatnya membunyikan lonceng dan melihat seisi sekolah tunduk di bawah aba-aba kami.

Seperti prajurit TNI, kawula kekaisaran Cina atauAdam--Hawa, kami juga sebenarnya sadar hukuman apa yang bakal kami terima kalau berani menggugat otoritas yang ada. Karena itu, kalau tidak diperkenankan guru,
tidak ada yang berani menyentuh lonceng itu.

Tapi kadang-kadang, ada saja anak yang nekad dan mencoba mengganggu lonceng itu. Entah "setan" apa yang berbisik di kepalanya, suatu ketika, saudara sepupu saya--Edison Siregar--membidik lonceng itu dengan ketapelnya. Teng! Dengan serta-merta Bapak "Meneer" Sibuea keluar. Edison tertangkap basah sedang melakukan bidikan yang kedua. Meneer berteriak lantang, "Hei, Orang Langsa, Orang Langsa, kowe pikir ini sekolah nenek-moyang kowe....". Edison Siregar, yang ayah dan ibunya tinggal Langsa, digelandang ke kantor sekolah.

Seperti telah saya uraikan terdahulu, pada jam istirahat adakalanya guru terlalu sibuk mengobrol dan tak sempat membunyikan lonceng. Guru akan menyuruh salah seorang dari kerumunan anak yang ada di dekatnya. "Hei, kau, anu, bunyikan dulu lonceng itu, sudah musti masuk kita...." Karena sosok yang disebut tidak jelas, maka semua anak akan merasa dirinya "anu" dan berlari ke arah lonceng. Anak yang berlari paling depan akan melompat ke atas tempat sampah, menggapai tali dan mulai menarik. "Teng! Teng! Teng" Lalu temannya yang lain akan menariknya turun dan ingin pula merasakan kenikmatan membunyikan lonceng. "Hoi, sekarang gilirankulah...". Kembali lonceng berbunyi, "Teng! Teng! Teng"

Kita bisa membedakan mana bunyi lonceng yang dibuat guru dan mana yang dibuat oleh anak-anak. Bunyi lonceng yang dibuat anak-anak akan panjang sekali dan tidak beraturan.

Pada masa itu, bagi kami anak-anak, lebih mudah membunyikan lonceng gereja GPIB yang ada di depan sekolah, ketimbang membunyikan lonceng sekolah sendiri.

Adakalanya gereja GPIB menyelenggarakan kebaktian pemberkatan pernikahan. Kalau acara tersebut bersamaan dengan jam istirahat atau bubaran sekolah, maka itu berarti kesempatan bagi kami untuk membunyikan lonceng gereja.

Sementara iringan pengantin melangkah menuju altar, confetti ditabur-taburkan dan jemaat berdiri, maka lonceng pun dibunyikan. Petugas gereja biasanya mengizinkan kami untuk menarik tali lonceng itu. Tapi pekerjaan membunyikan lonceng gereja tidak semudah membunyikan lonceng sekolah. Lonceng gereja baru berdentang kalau dua atau tiga anak bergelayut di tali. "Teng! Teng! Teng!" Bunyi lonceng gereja jauh lebih berwibawa daripada bunyi lonceng sekolah. Dahulu saya percaya bahwa bunyi lonceng ini terdengar sampai ke surga.

Di dunia ini hanya ada beberapa lonceng yang membuat saya terkagum-kagum. Pertama, tentu, lonceng penjual Es Baltic. Pada awal tahun 60-an, ketika saya tinggal di Jakarta, di daerah Menteng, ada es potong dan es krim yang dijajakan dengan kereta berkuda. Es Baltic namanya. Bunyi loncengnya selalu memberikan sensasi tersendiri di dalam diri saya.

Kedua, lonceng gereja HKBP Sipirok. Pada suatu malam pergantian tahun, saya dan anak-anak lainnya-tidak perduli apa agamanya-boleh membunyikan lonceng itu sepanjang malam!

Ketiga, "Independence Bell" yang ada di Pennsylvania--AS, yang di badannya terukir nama-nama "the founding fathers AS". Lonceng itu sangat besar, dan walau pun ia telah retak, tapi dentangan kebebasan serta persamaan hak-hak manusia yang dinyatakannya masih terus bergaung hingga ke masakini.

Dan yang keempat, ya itu tadi, lonceng SD Immanuel, Jalan Diponegoro, Medan.

22 December 2003

Sering kali aku berkata,

ketika orang memuji milikku,
bahwa sesungguhnya ini hanya titipan,
bahwa mobilku hanya titipan Nya,
bahwa rumahku hanya titipan Nya,
bahwa hartaku hanya titipan Nya,
bahwa putraku hanya titipan Nya,

tetapi,

mengapa aku tak pernah bertanya,
mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku?

Dan kalau bukan milikku,
apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat,
ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali,
kusebut itu sebagai musibah,
kusebut itu sebagai ujian,
kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja
untuk melukiskan bahwa itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku,
aku ingin lebih banyak harta,
ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak rumah,
lebih banyak popularitas,
dan kutolak sakit,
kutolak kemiskinan,

Seolah ...
semua "derita" adalah hukuman bagiku.

Seolah ...
keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika:

aku rajin beribadah,
maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
dan Nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
dan bukan Kekasih.

Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku",
dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku,

Gusti,
padahal tiap hari kuucapkan,
hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah...

"ketika langit dan bumi bersatu,
bencana dan keberuntungan sama saja"

(WS Rendra).