19 November 2003

BU PRESIDEN, AKU JANGAN DIPENJARA, YA

Kumpulan sajak ini, Untuk Bunda dan Dunia, sungguh unik, karena pengarangnya, Abdurahman Faiz, berumur 8 tahun. Dia lahir di Jakarta, 15 November 1995. Ibunya, Helvy Tiana Rosa adalah pengarang, dan ayahnya, Tomi Satryatomo, wartawan. Faktor genetik dan lingkungan kepenulisan dengan budaya membaca di rumah, secara dini telah membentuk Faiz.

Sebelum menguasai aksara, cara bicara Faiz saja, karena puitiknya, sudah menggemaskan orangtuanya. Di tahun 1998, dia mengatakan pada mamanya, "Bunda, aku mencintai bunda seperti aku mencintai surga." Waktu itu Faiz berumur 3 tahun. Konon banyak kata-kata bijak seperti itu berhamburan dari anak ini karena dia suka berkisah dan gemar bermain peran seperti dalam drama.

Sesudah mampu mengetik dengan komputer meja dan laptop orangtuanya, Faiz mulai menulis. Tapi kalau menulis sajak, dia memilih layar telefon genggam yang kecil itu untuk menaruh larik-larik sajaknya.

Dari dua puluh sajak Faiz yang ditulisnya mulai Juli 2001 sampai dengan November 2003 ini, 8 mengenai ibu dan ayahnya, 7 tentang situasi sosial dan 5 tentang tokoh masyarakat.

Kecintaan Faiz terhadap orangtuanya, pastilah karena lingkungan interaksinya di rumah yang penuh kasih sayang pula. Saya kutipkan 2 ungkapannya yang orisinal (dari "Ayah Bundaku") dan mengharukan berikut ini:

Ayah Bunda
kucintai kau berdua
seperti aku mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam tamanNya terindah nanti
(Januari 2002)

Dia lebih banyak menulis tentang ibunya. Sajaknya ada yang langsung, terasa jelas apa yang dimaksudkannya, tapi ada pula yang maknanya dibiarkannya menggantung, dan diserahkannya pada kita untuk menafsirkan lebih lanjut:

JALAN BUNDA

bunda
engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu
(September 2003)

Lima sajak sosial Faiz menunjukkan kepekaan yang dalam terhadap duka-derita kehidupan manusia. "Siti dan Udin di Jalan", sepanjang 8 bait, 38 baris berkisah tentang penggenjot becak beristerikan tukang cuci pakaian, yang mewakili ribuan lagi orang senasib, yang "tetap berdoa/agar bisa sekolah/dan punya rumah berjendela." Rumah kardus mereka, menurut pengamatan Faiz, tak ada yang berjendela. Sebuah pengamatan anak 8 tahun yang teliti.

Saya tersentak membaca "Pengungsi di Negeri Sendiri" (Oktober 2003). Saya kok lupa pada saudara-saudara kita itu, satu juta jumlahnya (mudah-mudahan sudah menyusut), akibat Balkanisasi dan perang saudara, yang terusir dari rumah dan kampung halaman sendiri. Saya malu, saya mulai lupa mereka. Cucunda Faiz, terima kasih. Engkau telah mengingatkan aku lagi pada mereka. Mari kita berbuat sesuatu untuk orang-orang sebangsa yang bernasib malang itu dan kita baca Al-Fatihah untuk mereka. Al Fatihah.

Faiz juga kenal sejumlah tokoh, dan menulis sajak mengenai mereka, yaitu Rasulullah Muhammad saw, tokoh novel super-populer Harry Potter, tokoh novel Frodo (dari Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien), proklamator Bung Hatta dan dua presiden, yaitu George W. Bush dan Megawati Sukarnoputeri.

Ibunya diundang sebagai sastrawati berceramah di Universitas Madison, Madison, Wisconsin dan Universitas Michigan, Ann Arbor, Michigan di bulan September 2003. Pengetahuan umum Faiz bukan main, yang diketahuinya lewat media massa dan tentunya percakapan di rumah, tentang kemungkinan repotnya ibunya yang berjilbab pergi ke Amerika Serikat pada hari-hari ini:

dari berita yang kubaca
Amerika penuh rekayasa
khawatir pun melanda
bila jilbab dijadikan masalah

Bagaimana bila bunda
tiba-tiba dianggap anggota alqaidah?
bukankah Presiden Amerika
menuduh dengan mudah
siapa saja yang tak dia suka?

Tapi syukurlah kekhawatirannya tak terjadi dan bundanya selamat sepanjang perjalanan.

Faiz ikut Lomba Menulis Surat untuk Presiden RI sehubungan dengan Hari Anak Nasional 2003 dan jadi pemenang pertama. "Surat buat Ibu Negara" yang dimuat dalam kumpulan ini adalah bentuk sajak dari surat yang memenangkan hadiah tertinggi dan menawan perhatian luas di media massa Indonesia karena bijaknya. Dalam setiap bait dari keenam bait sajaknya ini terdapat ungkapan, cita-cita dan saran pada Presiden RI dalam idiom anak-anak yang segar.

Faiz sendiri juga bercita-cita kelak jadi presiden dengan kualifikasi kecerdasan bisa bicara 10 bahasa, pandai membuat komputer sendiri, dicintai orang-orang (dia tidak pilih kata klise rakyat) dan persyaratan yang paling berat: kalau mati masuk surga.

Sebagai penutup surat, setelah usul ini-itu yang dikhawatirkannya menyinggung perasaan presiden, Faiz bersajak:

Sudah dulu ya.
Ibu jangan marah ya.
Kalau tidak senang
aku jangan dipenjara ya.
Terimakasih.

Kemampuan Faiz menulis, dalam perkiraan saya, 10 tahun melompati umurnya. Remaja berusia 18 tahun, jika mampu menulis serapi ini, sudah terbilang bagus sekali. Ayah bunda Faiz dititipi Allah bakat brilyan yang mereka harus jaga dan tumbuhkan sebaik-baiknya. Janganlah sampai kemashuran dini mengguncangnya dan mengganggu perkembangan psikologi Faiz selanjutnya.

Mudah-mudahan ibunda Helvy dan ayahanda Tomi berhasil baik dan cucunda Faiz mencapai cita-citanya dalam naungan ridha Allah SWT.

Amin.

Jakarta, Ramadhan 1404 H / 6 November 2003 M.

TERIMAKASIH DARI FAIZ

Faiz mengucapkan terimakasih tak terhingga kepada Allah SWT, kepada Ayah dan Bunda atas cinta dan dukungan yang berlimpah. Juga untuk Pak Tuo Taufiq Ismail yang aku kagumi. Om Jamal D. Rahman, Om Agus R. Sarjono yang suka menyemangatiku lewat sms. Tante Medy Loekito, Pak Tuo Hamid Jabbar, Om Ahmadun Y. Herfanda, Om Binhad Nurohmat yang sudah mau membaca karya-karyaku sebelum menjadi buku. Untuk Oma Maria, Opa Amin, Eyang Wiyati, Mami Rani, Papi Isa, Papi Eron, Mbak Menuk, Om Ferry, Om Bimo, Tante Alif, Mbak Kiki, Caca, Adam, Om Ali Muakhir, Om Andi Yudha, Penerbit Mizan, guru-guru dan teman-temanku semua. Kupersembahkan puisi-puisi ini untuk kalian dan untuk dunia. Semoga bermanfaat ya.

Salam manis,
Abdurahman Faiz


HATTA

Engkau adalah kenangan
yang tumbuh dalam kepala dan jiwaku

Suatu malam kau datang dalam mimpiku
katamu:
jangan lelah menebar kebajikan
jadikan kesederhaan
sebagai teman paling setia

Aku anak kecil
berjanji menepati
jadi akan kusurati lagi
presiden kita
hari ini
(17 Agustus 2003)

PUISI BUNDA

bunda hanya sedikit mengarang puisi untukku
tapi semakin lama kuamati
senyuman bunda adalah puisi
tatapan bunda adalah puisi
teguran bunda adalah puisi
belaian dan doanya adalah puisi cinta
yang disampaikannya padaku
tak putus putus
tak putus putus

bahkan bila kutidur
(Mei 2003)

SITI DAN UDIN DI JALAN

Siti dan Udin namanya
sejak pagi belum makan
minum cuma seadanya
dengan membawa kecrekan
mengitari jalan-jalan ibu kota

Siti punya ayah
seorang tukang becak
ibunya tukang cuci
berbadan ringkih

Udin tak tahu di mana ayahnya
ditinggal sejak bayi
ibunya hanya pemulung
memunguti kardus dan plastik bekas

Mereka bangun rumah
dari triplek dan kardus tebal
di tepi kali ciliwung
tapi sering kena gusur

Bila malam tiba
mereka tidur di kolong jembatan
ditemani nyanyian nyamuk
dan suara bentakan preman

Siti dan Udin namanya
muka mereka penuh debu
dengan baju rombengan
menyanyi di tengah kebisingan

pagi sampai malam
tersenyum dalam peluh
menyapa om dan tante
mengharap receh seadanya

Beribu Siti dan Udin
berkeliaran di jalan-jalan
dengan suara serak
dan napas sesak oleh polusi
kalau hari ini bisa makan
sudah alhamdulillah
tapi tetap berdoa
agar bisa sekolah
dan punya rumah berjendela
(Februari 2003)

HARRY POTTER

Sudahkah kau temukan
ramuan paling rahasia itu
agar seluruh orang di dunia
bisa saling cinta?
(Oktober 2002)

AYAH BUNDAKU

Bunda
engkau adalah
rembulan yang menari
dalam dadaku

Ayah
engkau adalah
matahari yang menghangatkan
hatiku

Ayah Bunda
kucintai kau berdua
seperti aku mencintai surga

Semoga Allah mencium ayah bunda
dalam tamanNya terindah nanti
(Januari 2002)

MENARUH

Aku menaruh semua mainan
dan teman di sisiku

Aku menaruh bunda di hatiku
dekat sekali
dengan tempat kebaikan

Tapi
Aku tak bisa menaruh Allah
Ia menaruhku di bumi
bersama bunda dan semua
Ia ada dalam tiap napas
dan penglihatanku

Allah, hari ini kumohon
taruhlah para anak jalanan,
teman-teman kecilku yang miskin
dan menderita
dalam belaianMu
dan buatlah ayah bunda
menjadi kaya
dan menaruh mereka
di rumah kami

Amin.
(Juli 2001)

JALAN BUNDA

bunda
engkaulah yang menuntunku
ke jalan kupu-kupu
(September 2003)

SURAT BUAT IBU NEGARA

Kepada Yang Terhormat
Presiden Republik Indonesia
Megawati
Di Istana

Assalaamualaikum.
Ibu Mega, apa kabar?
Aku harap ibu baik-baik seperti aku saat ini.
Ibu, di kelas badanku paling tinggi.
Cita-citaku juga tinggi.
Aku mau jadi presiden.
Tapi baik.
Presiden yang pintar,
bisa buat komputer sendiri.
Yang tegas sekali.
Bisa bicara 10 bahasa.
Presiden yang dicintai orang-orang.
Kalau meninggal masuk surga.

Ibu sayang,
Bunda pernah cerita
tentang Umar sahabat Nabi Muhammad.
Dia itu pemimpin.
Umar suka jalan-jalan
ke tempat yang banyak orang miskinnya.
Tapi orang-orang tidak tahu kalau itu Umar.
Soalnya Umar menyamar.
Umar juga tidak bawa pengawal.
Umar jadi tahu
kalau ada orang yang kesusahan di negerinya
Dia bisa cepat menolong.

Kalau jadi presiden
aku juga mau seperti Umar.
Tapi masih lama sekali.
Harus sudah tua dan kalau dipilih orang.
Jadi aku mengirim surat ini
Mau mengajak ibu menyamar.
Malam-malam kita bisa pergi
ke tempat yang banyak orang miskinnya.
Pakai baju robek dan jelek.
Muka dibuat kotor.
Kita dengar kesusahan rakyat.
Terus kita tolong.

Tapi ibu jangan bawa pengawal.
Jangan bilang-bilang.
Kita tidak usah pergi jauh-jauh.
Di dekat rumahku juga banyak anak jalanan.
Mereka mengamen mengemis.
Tidak ada bapak ibunya.
Terus banyak orang jahat
minta duit dari anak-anak kecil.
Kasihan.

Ibu Presiden,
kalau mau, ibu balas surat aku ya.
Jangan ketahuan pengawal
nanti ibu tidak boleh pergi.
Aku yang jaga
supaya ibu tidak diganggu orang.
Ibu jangan takut.
Presiden kan punya baju tidak mempan peluru.
Ada kan seperti di filem?
Pakai saja.
Ibu juga bisa kurus
kalau jalan kaki terus.
Tapi tidak apa.
Sehat.
Jadi ibu bisa kenal orang-orang miskin
di negara Indonesia.
Bisa tahu sendiri
tidak usah tunggu laporan
karena sering ada korupsi.

Sudah dulu ya.
Ibu jangan marah ya.
Kalau tidak senang
aku jangan dipenjara ya.
Terimakasih.

Dari
Abdurahman Faiz
Kelas II SDN 02 Cipayung Jakarta Timur

PENGUNGSI DI NEGERI SENDIRI

Tak ada lagi yang menari
di antara tenda-tenda kumuh di sini
hanya derita yang melekat di mata
dan hati kami

Tidak satu nyanyian pun
pernah kami dendangkan lagi
hanya lagu-lagu airmata
di antara lapar, dahaga
pada pergantian musim

Sampaikah padamu, saudaraku?
(Oktober 2003)

BUNDA CINTAKU

Bunda
kau selalu ada di sisiku
kau selalu di hatiku
senyummu rembulan
baktimu seperti matahari
yang setia menyinari
dan cintamu adalah udara
yang kuhirup setiap hari
meski di dalam sedih
walau dalam susah
langkahmu pasti
jadikan aku insan berarti

terimakasih bunda cintaku
(November 2002)

TUJUH LUKA DI HARI ULANGTAHUNKU

Sehari sebelum ulangtahunku
aku terjatuh di selokan besar
ada tujuh luka membekas, berdarah
aku mencoba tertawa, malah meringis

Sehari sebelum ulangtahunku
negeriku masih juga begitu
lebih dari tujuh luka membekas
kemiskinan, kejahatan,
korupsi di mana-mana,
pengangguran, pengungsi
jadi pemandangan
yang meletihkan mata
menyakitkan hati

Tapi ada yang seperti lucu di negeriku
orang yang ketahuan berbuat jahat
tidak selalu dihukum
namun orang baik bisa dipenjara

Pada ulangtahunku yang kedelapan
aku berdiri di sini dengan tujuh luka
sambil membayangkan Indonesia Raya
dan selokan besar itu

Tiba-tiba aku ingin menangis
(15 November 2003)

YANTO DAN MAZDA

Yanto dan Mazda, tidurlah
malam telah larut
Frodo dan Sam sedang berjuang
memusnahkan Sauron

tidakkah sebaiknya kita
cium kening bunda
dan selekasnya masuk
lewat pintu-pintu mimpi
untuk membantu mereka?
(Februari, 2003)

SIAPA MAU JADI PRESIDEN?

menjadi presiden itu
berarti melayani
dengan segenap hati
rakyat yang meminta suka
dan menyerahkan jutaan
keranjang dukanya padamu
(November, 2003)

DARI SEORANG ANAK IRAK DALAM MIMPIKU, UNTUK BUSH

Mengapa kau biarkan anak-anak meneguk derita
peluru-peluru itu bicara pada tubuh kami
dengan bahasa yang paling perih

Irak, Afghanistan, Palestina
dan entah negeri mana lagi
meratap-ratap

Mengapa kau koyak tubuh kami?
apa yang kau cari?
apa salah kami?
kami hanya bocah
yang selalu gemetar mendengar
keributan dan ledakan
mengapa kau perangi bapak ibu kami?

Kini
kami tak pernah lagi melihat pelangi
hanya api di matamu
dan sejarah yang perih
tapi kami sudah tak bisa lagi menangis
Kami berdarah
Kami mati
(Oktober 2003)

PENULIS

Ayahku wartawan
bundaku sastrawan

dan akulah dia
yang susah payah
mengumpulkan semua cinta
semua duka
menjadikannya untaian kata
yang kualamatkan pada dunia

mungkin menjadi kebaikan
yang bisa dibaca siapa saja
dan sedikit uang
untuk kusedekahkan
pada fakir miskin
(Agustus 2003)

MUHAMMAD RINDUKU

Kalau kau mencintai Muhammad
ikutilah dia
sepenuh hati

apa yang dikatakan
apa yang dilakukan
ikuti semua
jangan kau tawar lagi
sebab ialah lelaki utama itu

memang jalan yang ditempuhnya
sungguh susah
hingga dengannya terbelah bulan

tapi kalau kau mencintai Rasul
ikutilah dia
sepenuh rindumu

dan akan sampailah kau padaNya
(April 2003)

KEPADA KORUPTOR

Gantilah makanan bapak
dengan nasi putih, sayur dan daging
jangan makan uang kami
lihatlah airmata para bocah
yang menderas di tiap lampu merah jalan-jalan Jakarta
dengarlah jerit lapar mereka di pengungsian
juga doa kanak-kanak yang ingin sekali sekolah

Telah bapak saksikan
orang-orang miskin memenuhi seluruh negeri
tidakkah menggetarkan bapak?

Tolong, Pak
gantilah makanan bapak seperti manusia
jangan makan uang kami
(Oktober 2003)

DOAKU HARI INI

Tuhanku
berikanlah waktumu padaku
untuk tumbuh di jalan cinta
dan menyemainya
di sepanjang jalan ayah bundaku
di sepanjang jalan Indonesiaku
di sepanjang jalan menujuMu

Amin
(Juli, 2003)

BUNDA KE AMERIKA

Sepucuk surat undangan sampai pagi ini di rumah kami
untuk bundaku tercinta
dari universitas di Amerika

aku tahu bundaku pintar
juga amat berbudaya
tak heran bila ia diundang bicara
sampai ke negeri adidaya

ia adalah muslimah ramah
dengan jilbab tak pernah lepas dari kepala
sehari-hari berbicara benar
dan tak henti membela yang lemah

dari berita yang kubaca
Amerika penuh rekayasa
khawatir pun melanda
bila jilbab dijadikan masalah

Bagaimana bila bunda
tiba-tiba dianggap anggota alqaidah?
bukankah Presiden Amerika
menuduh dengan mudah
siapa saja yang tak dia suka?

Maka aku minta kepada Allah
agar bunda dilindungi senantiasa
bunda tersenyum dan memelukku
ia teguh pergi dengan jilbab di kepala
katanya: hanya Allah maha penjaga
(September 2003)

PUISI BUNDA 2

Engkau adalah puisi abadiku
yang tak mungkin kutemukan dalam buku
(November 2003)



FAIZ

Nama lengkapnya Abdurahman Faiz, lahir di Jakarta, 15 November 1995. Pada usia 13 bulan mengalami retak di tempurung kepala bagian belakang karena terjatuh dari sebuah kursi tinggi. Dokter menganggap sebuah mukjizat ketika dalam perkembangannya Faiz tak menunjukkan gejala gangguan otak atau kecerdasan. Ia sempat dirawat 2 minggu di Rumah Sakit karena hal tersebut.

Sejak usia 2 tahun Faiz sangat suka bercerita dan bermain peran. Ia pernah berkata: "Bunda, aku mencintai bunda seperti aku mencintai surga," ketika usianya baru 3 tahun.

Ya, sejak saat itu, setiap waktu, Faiz bisa tiba-tiba mengeluarkan kalimat-kalimat puitis layaknya seorang penyair. Namun karena tidak langsung ditulis, puisi-puisi itu banyak yang tidak terdokumentasi (Faiz baru mulai mau menulisnya pertengahan tahun 2001).

Saat Faiz tahu buku ini akan terbit, misalnya, ia spontan berkata: "Bunda, engkau adalah puisi abadiku, yang tak mungkin kutemukan dalam buku." Dan seperti biasa, sang bunda langsung berseru, "Apa, nak? Tunggu, kamu harus menuliskan kalimat itu! Itu puisi yang sangat indah!"

Pada usia 3 tahun pula ia bercerita dengan mimik serius tentang temannya bernama Mimis. "Kasihan deh, Bunda. Mimis itu ibunya tukang cuci, bapaknya satpam di mall. Ibunya sakit-sakitan sampai batuk darah. Mall tempat bapaknya bekerja dibakar dan dijarah orang banyak. Aku kasihan sekali padanya."

Tentu Bunda Faiz, Helvy Tiana Rosa yang juga seorang cerpenis kebingungan. Seingatnya Faiz tak memiliki teman bernama Mimis. Lagi pula anak itu bahkan belum masuk play group maupun TK. Tapi Faiz terus bercerita. "Kasihan deh si Mimis itu. Kita harus menolong dong, Bunda."
Akhirnya Sang Bunda berkata: "Faiz, mari kita tolong Mimis. Dia tinggal di mana? Kok bunda belum tahu?"
Tiba-tiba Faiz tertawa gelak: "Bunda..... bunda!" serunya masih menahan tawa. "Mimis itu kan cuma teman khayalanku saja!"

Rupanya ia sudah mengerti konsep teman khayalan. Tinggal bundanya yang geleng-geleng kepala. Sejak kecil Faiz juga sudah sering bertanya yang aneh-aneh kepada bunda, maupun ayahnya: Tomi Satryatomo yang bekerja sebagai wartawan. Misalnya: Ayah, mengapa angin itu tidak kelihatan? Mengapa awan ada di atas? Kan kalau di bawah enak dijadikan tempat tidur? Mengapa api dinamakan api? Mengapa laut asin? Mengapa Tuhan hanya satu? Adakah orang tinggal di Bintang? Dan lain sebagainya.

Menjelang usia 5 tahun, Faiz masuk ke TK Pelita di dekat rumahnya. Setahun kemudian ia didaftarkan ke SD negeri. Tapi, karena usianya belum 6 tahun, ia belum diterima. Baru pada usia menjelang 7 tahun ia masuk di kelas I SDN 02 Cipayung yang juga tak jauh dari rumahnya.

Kegiatan sehari-hari Faiz adalah sekolah, les, mengaji dan bermain. Ia juga suka sekali mempelajari alat elektronik. Ia terbiasa dengan komputer sejak usia 3 tahun. Saat balita ia bisa mengoperasikan PDA, laptop, internet, HP jenis apa pun, kamera digital bahkan handycam. Ia juga sudah memiliki laptop sendiri--bekas bunda. Anehnya ia lebih suka menulis puisi di HP.

Faiz yang suka berolahraga dan mengoleksi banyak buku ini, bercita-cita menjadi seorang presiden yang juga professor. Agustus 2003 lalu, ia menjadi Juara I Lomba Menulis Surat untuk Presiden, Tingkat Nasional, yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, dalam rangka Hari Anak Nasional 2003. Sejak saat itu ia kerap diburu wartawan dan menjadi tamu dalam
beberapa acara televisi antara lain Liputan 6 dan Who Wants to be A President. Ia juga ditawari bermain sinetron tapi ia menolak.

"Ternyata menjadi terkenal itu tidak enak ya. Capek dikejar-kejar orang. Semua mencium kita sembarangan. Tapi enaknya kita bisa gampang menolong orang," komentar tiga besar di kelas II SDN 02 Cipayung yang juga anggota Forum Lingkar Pena Kids ini.



KOMENTAR PARA PENYAIR

Puisi Faiz belum banyak, tetapi mampu menimbulkan keharuan yang mendalam ketika saya membacanya. Ia bicara cinta dengan agung. Ia bicara agama dengan anggun. Ia bicara derita manusia dengan bening. Mengutip akhir puisi "Siti dan Udin di Jalan": dan punya rumah berjendela, nampaknya sebuah keinginan sederhana, namun sesungguhnya teramat dalam maknanya, sebab jendela adalah tempat kita menengok dunia luar, dan selama jendela kita terbuka, hidup adalah indah.
(Medy Loekito, penyair, Yayasan Multimedia Sastra)


Faiz, puisi-puisimu mencerminkan perasaan dan hatimu yang bening. Dari puisi-puisimu aku tahu hati dan perasaanmu selalu bergolak melihat apa pun di sekitarmu. Dan bahasamu sebening hatimu.
(Jamal D. Rahman, penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison)


Faiz, berpikir lebih 'gila' lagi, tapi tetap bicara dengan hati!
(Hamid Jabbar, Penyair, Redaktur Senior Majalah Horison)


Faiz, puisimu seperti danau, tempatku melihat bayang-bayang dan juga ingatan masa kanakku, yang telah berdiri jauh di belakangku.
(Binhad Nurohmat, penyair, Koordinator Serikat Baca Dunia )


Sejujurnya, membaca sajak-sajak Faiz saya sungguh-sungguh tercengang. Ia tampaknya dikaruniai bakat kepengarangan yang cukup luar biasa. Baru berusia 8 tahun, tapi sudah mampu membuat sajak-sajak yang tidak hanya indah dan rapi bahasanya, tapi juga sangat bermakna. Semoga dia kelak menjadi sastrawan besar yang mampu mengharumkan nama bangsa.
(Ahmadun Yosi Herfanda, penyair. Redaktur Budaya Harian Republika)


Faiz, jalan kupu-kupu yang kau tempuh itu, membikinku ingin menjadi kanak-kanak lagi. Karena meski surga ada di telapak kaki ibu, jalan ke sana pastilah lewat kebeningan dan keriangan jiwa kanak, yang begitu bercahaya dalam sajak-sajakmu.
(Agus R. Sarjono, penyair, Ketua Dewan Kesenian Jakarta)


18 November 2003

EMASBeberapa waktu yang lalu, di Mesir hidup seorang sufi yang tersohor bernama Zun-Nun. Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya :"Master, saya belum paham mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di zaman yang ini berpakaian necis amat perlu, bukan hanya untuk penampilan namun juga untuk tujuan banyak hal lain."

Sang sufi hanya tersenyum, ia lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata : "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Cobalah, bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas."

Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu; "Satu keping emas. Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu." "Cobalah dulu sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."

Pemuda itu pun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun berani membeli seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak.

Tentu saja, pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga satu keping perak. Ia kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor; "Master, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu keping perak."

Zun-Nun, sambil tetap tersenyum arif, berkata, "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. Dengarkan saja, bagaimana ia memberikan penilaian."

Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Ia kembali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain. Ia kemudian melapor; "Master, ternyata para pedagang di pasar tidak tahu nilai sesungguhnya dari cincin ini. Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."

Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih; "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai dari pakaiannya. Hanya "para pedagang sayur, ikan dan daging di pasar" yang menilai demikian. Namun tidak bagi "pedagang emas".

Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata loyang dan yang kita lihat sebagai loyang ternyata emas."

14 November 2003

KeberanianSuatu ketika seorang Indian muda, mendatangi tenda ayahnya. Di dalam sana, duduk seorang tua, dengan pipa panjang yang mengepulkan asap. Matanya terpejam, tampak sedang bersemadi. Hening. "Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok pagi?" tanya Indian muda itu memecahkan kesunyian disana. Mata sang Ayah membuka perlahan, sorot matanya tajam, memandang ke arah anak paling disayanginya itu. Kepala suku itu hanya diam.

"Ya Ayah, bolehkah aku ikut berburu besok? Lihat, aku sudah mengasah pisauku. Kini semuanya tajam dan berkilat." Tangan si kecil merogoh sesuatu dari balik kantung kulitnya. Sang Ayah masih diam mendengarkan. "Aku juga sudah membuat panah-panah untuk bekalku berburu. Ini, lihatlah Ayah, semuanya pasti tajam. Busurku pun telah kurentangkan agar lentur. Pasti aku akan menjadi Indian pemberani yang hebat seperti Ayah. Ijinkan aku ikut Ayah." Terdengar permintaan merengek dari si kecil.

Suasana masih tetap senyap. Keduanya saling pandang. Terdengar suara berat sang Ayah, "Apakah kamu sudah berani untuk berburu? "Ya!" segera saya terdengar jawaban singkat dari si kecil. "Dengan pisau dan panahku, aku akan menjadi yang paling hebat." Sang Ayah tersenyum, "Baiklah, kamu boleh ikut besok, tapi ingat, kamu harus berjalan di depan pasukan kita. Mengerti?" Sang Indian muda mengangguk.

Keesokan hari, pasukan Indian telah siap di pinggir hutan. Kepala suku, dan Indian muda, berdiri paling depan. "Hari ini anakku yang akan memimpin perburuan kita. Biarkan dia berjalan di depan." Indian muda itu tampak gagah. Ada beberapa pisau yang terselip di pinggang. Panah dan busur, tampak melintang penuh di punggungnya. Ini adalah perburuan pertamanya. Si kecil
berteriak nyaring, "ayo kita berangkat."

Mereka mulai memasuki hutan. Pohon-pohon semakin rapat, dan semak semakin meninggi. Sinar matahari pun tak leluasa menyinari lebatnya hutan. Mulai terdengar suara-suara dari binatang yang ada disana. Indian kecil yang tadi melangkah dengan gagah, mulai berjalan hati-hati. Parasnya cemas dan takut. Wajahnya sesekali menengok ke belakang, ke arah sang Ayah. Linglung, dan ngeri. Tiba-tiba terdengar beberapa suara harimau mengaum. "Ayah...!!" teriak si kecil. Tangannya menutup wajah, dan ia berusaha lari ke belakang. Sang Ayah tersenyum melihat kelakuan anaknya, begitupun Indian lainnya.

"Kenapa? Kamu takut? Apakah pisau dan panahmu telah tumpul? Mana keberanian yang kamu perlihatkan kemarin?" Indian muda itu terdiam. "Bukankah kamu bilang, pisau dan panahmu dapat membuatmu berani? Kenapa kamu takut sekarang? Lihat Nak, keberanian itu bukan berasal dari apa yang kau miliki. Tapi, keberanian itu datang dari sini, dari jiwamu, dari dalam dadamu." Tangan Kepala Suku menunjuk ke arah dada si kecil.

"Kalau kamu masih mau jadi Indian pemberani, teruskan langkahmu. Tapi jika, di dalam dirimu masih ada jiwa penakut, ikuti langkah kakiku." Indian muda itu masih terdiam. "Setajam apapun pisau dan panah yang kau punya, tak akan membuatmu berani kalau jiwamu masih penakut. Sekuat apapun busur telah kau rentangkan, tak akan membuatmu gagah jika jiwa pengecut lebih banyak berada di dalam dirimu." "...Aauummmm." Tiba-tiba terdengar suara harimau yang mengaum kembali. Indian muda kembali pucat. Ia memilih untuk berjalan di belakang sang Ayah.
***

Keberanian. Apakah itu keberanian? Keberanian bukanlah rasa yang dimiliki oleh orang yang menganggap dirinya memiliki segalanya. Keberanian juga bukan merupakan rasa yang berasal dari sifat-sifat sombong dan takabur. Keberanian adalah jiwa yang berasal dari dalam hati, dan bukan dari materi yang kita miliki. Keberanian adalah sesuatu yang tersembunyi yang membuat orang tak pernah gentar walau apapun yang dia hadapi.

Saya percaya, keberanian bukan berasal dari apa yang kita sandang atau kita miliki. Keberanian bukan datang dari apa yang kita pamerkan atau yang kita punyai. Tapi, teman, keberanian adalah datang dari dalam diri, dari dalam dada kita sendiri. Keberanian adalah sesuatu yang melingkupi perasaan kita, dan menjadi bekal dalam setiap langkah yang kita ayunkan.

Teman, mungkin saat ini kita diberikan banyak kemudahan, dan membuat kita merasa cukup berani dalam menjalani hidup. Kita mungkin dititipkan kelebihan-kelebihan dan membuat kita takabur bahwa semua masalah akan mampu di hadapi. Mungkin saat ini kita kaya, rupawan, berpendidikan tinggi, dan berkedudukan bagus, tapi apakah itu bisa menjadi jaminan bahwa kita akan selamanya dapat menjalani hidup ini? Apakah itu akan selamanya cukup untuk menjadi bekal kita dalam "perburuan" hidup ini?

Jadilah Indian muda yang tetap melangkah, dengan jiwa pemberani yang hadir dari dalam hati, dan BUKAN dari pisau dan panah yang telah diasah. Jadilah Indian muda yang tak pernah gentar mendengar suara harimau, sekeras apapun suara itu terdengar. Jadilah Indian muda yang tetap yakin dengan pilihan keberanian yang ia putuskan. Jangan gentar, jangan surut untuk melangkah.

12 November 2003

Kerja Adalah Sebuah Kehormatan

Seorang pemuda yang sedang lapar pergi menuju restoran jalanan dan iapun menyantap makanan yang telah dipesan. Saat pemuda itu makan datanglah seorang anak kecil laki-laki menjajakan kue kepada pemuda tersebut, "Pak mau beli kue, Pak?"

Dengan ramah pemuda yang sedang makan menjawab "Tidak, saya sedang makan". Anak kecil tersebut tidaklah berputus asa dengan tawaran pertama. Ia tawarkan lagi kue setelah pemuda itu selesai makan, pemuda tersebut menjawab: "Tidak dik saya sudah kenyang".

Setelah pemuda itu membayar ke kasir dan beranjak pergi dari warung kaki lima, anak kecil penjaja kue tidak menyerah dengan usahanya yang sudah hampir seharian menjajakan kue buatan bunda. Mungkin anak kecil ini berpikir "Saya coba lagi tawarkan kue ini kepada bapak itu, siapa tahu kue ini dijadikan oleh-oleh buat orang di rumah". Ini adalah sebuah usaha yang gigih membantu ibunda untuk menyambung kehidupan yang serba pas-pasan ini.

Saat pemuda tadi beranjak pergidari warung tersebut anak kecil penjaja kue menawarkan ketiga kali kue dagangan. "Pak mau beli kue saya?", pemuda yang ditawarkan jadi risih juga untuk menolak yang ketiga kalinya, kemudian ia keluarkan uang Rp 2000,- dari dompet dan ia berikan sebagai sedekah saja.

"Dik ini uang saya kasih, kuenya nggak usah saya ambil, anggap saja ini sedekahan dari saya buat adik".

Lalu uang yang diberikan pemuda itu ia ambil dan diberikan kepada pengemis yang sedang meminta-minta. Pemuda tadi jadi bingung, lho ini anak dikasih uang kok malah dikasihkan kepada orang lain. "Kenapa kamu berikan uang tersebut, kenapa tidak kamu ambil?. Anak kecil penjaja kue tersenyum lugu menjawab, "Saya sudah berjanji sama ibu di rumah,ingin menjualkan kue buatan ibu, bukan jadi pengemis, dan saya akan bangga pulang ke rumah bertemu ibu kalau kue buatan ibu terjual habis. Dan uang yang saya berikan kepada ibu hasil usaha kerja keras saya. Ibu saya tidak suka saya jadi pengemis".

Pemuda tadi jadi terkagum dengan kata-kata yang diucapkan anak kecil penjaja kue yang masih sangat kecil buat ukuran seorang anak yang sudah punya etos kerja bahwa "kerja itu adalah sebuah kehormatan", kalau dia tidak sukses bekerja menjajakan kue, ia berpikir kehormatan kerja di hadapan ibunya mempunyai nilai yang kurang. Suatu pantangan bagi ibunya,bila anaknya menjadi pengemis, ia ingin setiap ia pulang ke rumah melihat ibu tersenyum menyambut kedatangannya dan senyuman bunda yang tulus ia balas dengan kerja yang terbaik dan menghasilkan uang.

Kemudian pemuda tadi memborong semua kue yang dijajakan lelaki kecil, bukan karena ia kasihan, bukan karena ia lapar tapi karena prinsip yang dimiliki oleh anak kecil itu "kerja adalah sebuah kehormatan", ia akan mendapatkan uang kalau ia sudah bekerja dengan baik.

Makna yang bisa diambil :
Kerja bukanlah masalah uang semata, namun lebih mendalam mempunyai sesuatu arti bagi hidup kita. Kadang mata kita menjadi "hijau" melihat uang, sampai akhirnya melupakan apa arti pentingnya kebanggaan profesi yg kita miliki.

Bukan masalah tinggi rendah atau besar kecilnya suatu profesi, namun yang lebih penting adalah etos kerja, dalam arti penghargaan terhadap apa yang kita kerjakan. Sekecil apapun yang kita kerjakan, sejauh itu memberikan rasa bangga di dalam diri, maka itu akan memberikan arti besar.